Kamis, 3 April 2014 17:36
Ditulis oleh Ted SpragueSurvei demi survei terus menempatkan Jokowi sebagai calon
presiden yang paling populer. Dorongan agar Jokowi maju menjadi capres tampak
semakin meluas, dan harapan ini bahkan menjadi lebih nyata di mata banyak
pendukungnya ketika Megawati memutuskan untuk tidak ikut pemilihan presiden
tahun depan. Megawati dan partainya, setelah mengecewakan harapan “wong cilik”
karena ketidakmampuannya untuk menyelesaikan agenda reformasi dan memperbaiki
kehidupan mereka, akhirnya harus mengakui bahwa kapital politik besar yang
mereka raih dari gerakan reformasi 1998 sudah habis mereka gadaikan untuk
setiap kebijakan pro-kapital yang mereka telurkan dan bela dan setiap rupiah
dan posisi haram yang didapati oleh para elit PDI-P. Sekarang mereka harus
meminjam kapital politik yang ada di Jokowi. Tidak hanya rakyat jelata saja
yang melihat Jokowi sebagai ratu adil yang dapat menyelamatkan mereka, para
petinggi PDI-P pun melirik Jokowi sebagai orang yang mungkin dapat
menyelamatkan kapal yang sedang karam ini dan menyetirnya keluar dari
badai. Puan, Ketua DPP PDI-P, mengatakan: “Jokowi itu sudah menjadi
dinamika di internal dan eksternal untuk dicalonkan.” Walaupun ia belum secara
eksplisit mengatakan bahwa partainya akan mendorong Jokowi, namun jelas sudah
ada diskusi serius di dalam tubuh partai ini untuk mengusung Jokowi.
Tidak
hanya PDI-P saja, Gerindra pun tidak ingin ketinggalan. Mereka katanya sedang
“mempersiapkan” Jokowi untuk menjadi presiden pada 2019 dan menggantikan
Prabowo. Terlepas benar atau tidaknya ambisi besar Gerindra ini, usaha mengasosiasikan
popularitas Jokowi dengan Gerindra adalah sesuatu yang sudah dilakukan oleh
mereka sejak kampanye Jokowi-Ahok tahun lalu. Prabowo adalah salah satu pendana
kampanye Jokowi-Ahok, yang saat kampanye tahun lalu terlihat lebih ngotot dalam
mendorong kemenangan mereka dibandingkan Mega.
PKS, yang sekarang sedang memasuki krisis akut, pun sekarang
mulai menimang kemungkinan mendukung Jokowi. Ayat-ayat suci tidak bisa lagi
menyelamatkan mereka dari pusaran korupsi, ketidakkompetenan, dan
skandal-skandal picisan. Melihat polling Jokowi yang tinggi, dan bahkan di
antara pendukung grassrootsnya mulai banyak yang mendukung Jokowi, tidak heran
kalau sejumlah petinggi PKS mulai melirik Jokowi, setidaknya sebagai pelampung
penyelamat. Gelagat ini mulai terlihat dari komentar seorang anggota Majelis
Syuro PKS, Salim Segaf Aljuffri, yang ketika ditanya mengenai sikap PKS
mengenai Jokowi, mengatakan: “Jokowi bagus, tapi kan belum diputuskan. Kalau
Jokowi sekarang, kita akan lihat bagaimana dia akan memimpin Jakarta.” PKS juga
tidak ikut interpelasi Jokowi baru-baru ini. Yang pasti, para petinggi PKS tahu
kalau sekarang bukanlah saatnya menyerang Jokowi seperti dulu. Popularitas PKS
yang menukik tajam, yang dilanda berbagai isu korupsi dan serangan politik dari
lawan-lawannya yang juga sama kotornya, membuatnya lebih berhati-hati dalam
setiap langkahnya sekarang. Akan teramat bodoh untuk menyerang Jokowi yang
sudah begitu populer, dan bahkan di dalam pikiran sejumlah petinggi ada baiknya
mungkin kalau ikut mengambil keuntungan dari popularitas Jokowi.
Sistem politik hari ini sudah begitu bangkrut dan
legitimasinya di mata rakyat sudah begitu tipis dan tampak bisa roboh kapan
saja. Satu-satunya hal yang mencegah sistem ini dari kerobohan adalah lemahnya
kepemimpinan revolusioner dari rakyat pekerja. Inilah mengapa banyak partai
politik borjuasi yang sedang berlomba-lomba untuk memenangkan Jokowi ke
sisinya. Selain untuk memberikan legitimasi pada partai mereka masing-masing,
mereka juga ingin memberikan legitimasi umum kepada sistem politik bangsa ini,
bahwa sistem demokrasi politik borjuasi masih bisa menyodorkan seorang pemimpin
yang kompeten dan bersih. Bayangkan kalau rakyat luas sama sekali sudah hilang
harapan pada para pemimpin politik dan sistem yang ada, dan mulai menengok ke
dirinya sendiri sebagai alat perubahan, mulai mengambil nasib ke tangannya
sendiri. Jokowi dan Ahok, kendati tidak sedikit elit politik yang mencoba
menjatuhkan mereka, adalah angin segar bagi para pembela sistem demokrasi
borjuasi, karena mereka memberi bukti bahwa sistem demokrasi ini masih bisa
menghasilkan pemimpin-pemimpin bersih. Tidak perlu aksi massa dan tidak perlu
partai kelas pekerja.
Dari pihak rakyat pekerja, banyak yang menginginkan Jokowi
untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Dari pihak elit politik
borjuasi, mereka juga mulai melihat Jokowi sebagai figur yang dapat
menyelamatkan Indonesia. Tetapi walau di permukaan kedua harapan ini tampak
serupa, ada kepentingan kelas yang jauh berbeda. Keselamatan bangsa yang ada di
pikiran rakyat jelata adalah cukup sederhana, yakni: pekerjaan dan upah layak,
tempat tinggal yang layak, pelayanan kesehatan, pendidikan, dll. Sementara bagi
elit politik borjuasi, keselamatan bangsa adalah keselamatan sistem eksploitasi
kapitalisme, yang sudah semakin terdiskreditkan karena ketidakmampuannya untuk
memberikan kesejahteraan pada rakyat jelata, ditambah lagi ulah-ulah vulgar
dari banyak pemimpinnya yang bermental “aji mumpung”, yang menjarah sistem ini
tanpa mempertimbangkan keselamatan kapitalisme dalam jangka panjang. Jokowi
dilihat oleh kaum borjuasi sebagai seorang yang dapat menyatukan kedua harapan
tersebut, atau lebih tepatnya memberikan kesan atau ilusi bahwa ia sedang
memenuhi harapan yang pertama, sementara pada kenyataannya ia sedang memenuhi
harapan yang belakangan.
Apakah
lantas ini berarti bahwa ada pertempuran antara elemen rakyat pekerja dan elit
politik borjuasi untuk memenangkan pengaruh terhadap Jokowi? Bahwa kita harus
“mengawali” Jokowi agar tidak jatuh ke dalam pengaruh dan rayuan elit politik
borjuasi? Bila politik perjuangan kelas dapat direduksi ke “berlomba merebut
pemimpin” maka sia-sia saja Marx, Engels, dan Lenin menulis ratusan artikel dan
buku politik. Dengan Jokowi yang hari ini, yakni yang mencoba memberikan wajah
humanis pada kapitalisme, maka konsekuensinya hanya ini: semakin Jokowi tampak
mewakili harapan rakyat pekerja, justru semakin efektif dia sebagai instrumen
bagi kaum borjuasi untuk menyelamatkan sistem eksploitasi kapitalisme. Jadi,
semakin kaum Kiri progresif mencoba merangkul Jokowi ke sisinya, dengan
melakukan kompromi prinsip dan program, maka semakin kapitalisme akan
terselamatkan dari krisis yang sedang melandanya.
Lalu,
bagaimana sikap kita terhadap fenomena Jokowi ini, dan juga fenomena-fenomena
serupa yang terus kita temui dalam sejarah di seluruh dunia? Kita memulai
proposisi revolusioner kita dari dua hal: pertama, situasi politik hari ini;
kedua, kepentingan kelas buruh untuk perjuangan menuju penumbangan kapitalisme
dan pendirian sosialisme.
Hal yang pertama, situasi politik hari ini di Indonesia dan
dunia. Seperti yang kita jelaskan di atas, legitimasi politik rejim ini di mata
rakyat sudah sangat tipis. Bahkan krisis politik dan ekonomi dunia yang terus
mengguncang 5 tahun terakhir ini telah membuat tingkat kepercayaan massa pada
sistem ini semakin goyah. Di tengah kebuntuan politik ini, sebagian rakyat
lantas mencari-cari penyelamat mereka, mencari alternatif yang lebih baik,
mencari lesser evil. Dari sinilah muncul figur-figur populis yang
terdorong ke depan. Di Amerika, Obama, yang kisah kenaikan – dan lalu
kekecewaan besar yang menyusulnya – tidak perlu lagi kita ulang. Di Italia,
sang pelawak Beppe Grillo, seorang populis yang tiba-tiba meroket di tengah
kebangkrutan politik Italia. Dengan slogan “Mereka semua harus pergi”, ia
memenangkan dukungan massa ke partainya, yang pada pemilu Februari kemarin
meraup 25% suara. Di Indonesia, kita saksikan eforia Jokowi-Ahok. Krisis
politik, disertai absennya kepemimpinan revolusioner yang dapat memberikan
jalan ke depan, adalah lahan subur bagi munculnya figur-figur populis. Tetapi
kita akan menjadi orang yang buta – dan bodoh – kalau tidak melihat adanya
kekuatan lain yang sedang bangkit, yakni kekuatan buruh dalam satu setengah
tahun belakangan ini. Kekuatan ini, dilihat dan ditimbang-timbang dari aspek
manapun, membuat eforia Jokowi tampak tidak signifikan, karena kekuatan ini
berbasiskan aksi massa luas yang militan dan radikal (dari aksi demonstrasi,
grebek pabrik, sampai mogok nasional), organisasi perjuangan kelas yang mandiri
(serikat buruh), dan keterlibatan massa buruh yang aktif. Ini sama sekali tidak
bisa dibandingkan dengan massa cair tanpa-organisasi yang mendukung
Jokowi-Ahok. Kalau kita percaya bahwa tugas pembebasan rakyat pekerja adalah
tugas mereka sendiri, yang harus dilakukan secara mandiri, dengan aksi massa
yang aktif dan organisasi mereka sendiri, maka gerakan buruh harus jadi
sandaran utama kita, bukan tokoh populis ini atau itu.
Hal
kedua yang jadi pertimbangan kita untuk menentukan sikap kita terhadap Jokowi
adalah kepentingan kelas buruh untuk menuntaskan tugas historisnya: penumbangan
kapitalisme dan pembangunan sosialisme. Semua kebijakan revolusioner harus
membawa kelas buruh lebih dekat ke tugas historis ini. Kalau tidak, dan bahkan
menjauhkan buruh dari tugas historis ini, maka ini adalah kebijakan reaksioner
yang harus kita tentang sepenuhnya.
Dari
kedua hal ini, maka jelas apapun sikap kita terhadap Jokowi – ataupun
Jokowi-Jokowi lainnya di masa depan dan di tempat lain – haruslah berdasarkan
kemandirian kelas dan pertimbangan pemenuhan tugas historis kelas buruh. Yang
pertama ini, kemandirian kelas, terutama penting ketika lama sudah gerakan
buruh – dan rakyat pekerja luas secara umum – dikebiri oleh Orde Baru dan dijadikan
“massa mengambang” tanpa kemandirian sama sekali. Dalam 1-2 tahun terakhir
jutaan buruh, dan juga tani, mulai menemukan kemandirian kelas mereka sendiri,
yang mereka temui lewat aksi massa dan organisasi perjuangan mereka. Ini adalah
proses yang hari ini jauh lebih penting dibandingkan reforma-reforma – yakni
perubahan kosmetik sana-sini bagi kapitalisme – yang dijanjikan Jokowi.
Melempar proses ini ke pendukungan Jokowi ke kursi kepresidenan hanya akan
menghambat dan menelikung proses pembangunan kemandirian kelas ini. Betapa
tidak! Belum dicalonkan saja, sejumlah kaum Kiri “pengawal” Jokowi-Ahok kita
sudah menjual kemandirian mereka dengan kompromi program dan prinsip, demi
harapan kalau-kalau Jokowi-Ahok dapat membawa perubahan. Para “relawan” ini diam
saja ketika Jokowi-Ahok menangguhkan upah minimum, menyuruh buruh untuk joget
saja daripada aksi massa saat May Day, bungkam seribu-bahasa saat mogok
nasional, dsb. Tidak ada yang kritis dan mendorong program mandiri. Mereka
hanya mengekor. Di hadapan kenyataan ini, maka kita kaum revolusioner harus
mengambil sikap yang teramat tegas. Setiap usaha untuk mengaburkan kepentingan
kelas dan kemandirian kelas, terutama sekarang ketika buruh sebagai sebuah
kelas mulai menunjukkan dirinya sebagai kekuatan yang riil, adalah reaksioner.
Kita harus ingat, bahwa Jokowi-Ahok adalah seksi dari
kapitalis yang ingin memberikan wajah yang lebih halus dan manis pada sistem
kapitalisme, seperti halnya Obama dan banyak reformis-reformis lainnya. Apa ini
berarti kita lantas mengutuk usahanya untuk memberikan pelayanan kesehatan
gratis pada rakyat? Kita mendukung program kesehatan gratis ini seperti halnya
buruh mendukung kenaikan gaji yang diberikan oleh sang pemilik pabrik (entah
karena sang majikan tiba-tiba merasa baik hati, atau alasan apapun). Kita tidak
lantas menyuruh buruh untuk mengelu-elukan sang pemilik pabrik, untuk menjadi
“relawan” pemilik pabrik, memberinya dukungan politik, dan mengekornya.
Misalnya dalam masalah KJS, dimana banyak anggota DPRD dan
rumah sakit swasta yang menolaknya. Kita jelas berdiri mendukung dengan keras
program kesehatan gratis untuk rakyat, karena ini adalah salah satu program
dasar sosialisme. Kita kritik para anggota DPRD ini. Kita ekspos rumah
sakit-rumah sakit swasta yang menolak KJS ini, karena mereka hanya memikirkan
laba. Secara umum, kita serang sistem kesehatan yang bermotif laba ini dan juga
anggaran kesehatan yang tidak mencukupi. Tetapi ini tidak mensyaratkan kita
untuk menjadi pendukung politik Jokowi-Ahok. Program kita kebetulan beirisan
dengan program Jokowi-Ahok, dan dilihat dari segi tertentu kita menjadi
“sekutu” Jokowi-Ahok ketika kita bersama-sama menyerang DPRD yang korup, yang
menentang KJS. Tetapi “persekutuan” aksidental ini bersifat sementara dan
kondisional, tidak berdasarkan kompromi program dan kompromi kemandirian kelas.
Dalam waktu dekat ini, kita akan dihadapkan dengan dua
pertempuran besar: pertama, rencana kenaikan BBM, yang mana ratusan ribu buruh
telah mengancam akan melakukan aksi mogok untuk melawannya; kedua, rencana
mogok nasional ke-2 pada Agustus mendatang, yang akan menyaksikan 2 juta buruh
mogok. Buruh akan semakin mengukuhkan dirinya sebagai sebuah kelas yang dapat
berdiri sendiri dan memimpin perjuangan rakyat tertindas lainnya. Melempar
proses yang signifikan dan historis ini ke belakang dengan ikut perlombaan
untuk mendorong Jokowi ke kursi kepresidenan, yang tentunya berarti melakukan
kompromi dengan partai-partai yang akan mendukungnya – yakni kemungkinan besar
PDI-P dan Gerindra, yang adalah dua partai yang paling menjanjikan untuk
menjadi pengusung Jokowi – adalah sebuah kejahatan besar terhadap perjuangan
kelas buruh. Satu-satunya perlombaan yang hari ini relevan dan mendesak bagi
perjuangan kita adalah berlomba untuk membangun kemandirian kelas buruh – yang
secara secara konkrit berarti pembangunan partai politik kelas buruh yang
mandiri – sebelum kapitalisme menghancurkan kehidupan jutaan rakyat pekerja
dengan krisisnya yang semakin akut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar